Ketika bicara mengenai conformity alias konformitas, kira-kira hal apa yang pertama akan terlintas di kepala kita?
Ikut-ikutan? Tidak bebas? Sekedar meniru? Asal menurut saja? Tidak punya ciri khas, tidak jadi diri sendiri, atau tidak ada kesempatan untuk berekspresi?
Entah apapun itu, saya yakin seringkali apa yang muncul di kepala kita ini adalah hal-hal yang berkonotasi negatif. Dan biasanya, memiliki kaitan yang erat dengan hilangnya identitas dan keunikkan diri kita.
Tetapi, apakah benar bahwa conformity mengandung konotasi senegatif itu? Senegatif suatu hal yang seringkali diasosiasikan dengan hilangnya kebebasan kita untuk berekspresi dan menjadi pribadi yang unik?
Tidak bisakah conformity berdampak positif terhadap perkembangan diri kita? Atau mungkin, berdampak positif terhadap penyesuaian diri kita terhadap lingkungan sekitar?
Sebelum berasumsi atau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, akan lebih baik jika kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan conformity alias konformitas.
Conformity adalah ?
Myers (2005) mendefinisikan conformity atau konformitas adalah “The change in behavior or belief to accord with others (Atau conformity artinya perubahan tingkah laku atau kepercayaan seseorang agar sesuai dengan orang lainnya).”
Sedangkan menurut SimplyPsychology.com terkait pengertian konformitas adalah sebagai “A type of social influence involving a change in belief or behavior in order to fit in with a group (Salah satu bentuk pengaruh sosial yang melibatkan perubahan kepercayaan atau tingkah laku yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadi anggota dari sebuah kelompok).”
Jika apa yang saya tuliskan di atas masih belum jelas, bagaimana jika teman-teman membayangkan diri teman-teman berada pada kondisi berikut.
Hari ini adalah hari pertama Anda masuk kerja sebagai karyawan baru di sebuah perusahaan. Perusahaan baru ini bergerak dibidang bisnis yang berbeda dengan perusahaan tempat kerja Anda sebelumnya. Anda tahu bahwa keduanya pasti akan memiliki budaya yang berbeda. Namun, tidak pernah terbesit di pikiran Anda bahwa budaya perusahaan akan sejauh itu mempengaruhi gaya berbusana para karyawannya.
Di hari pertama, karena belum memiliki kesempatan untuk mengenal lebih jauh perusahaan ini, Anda datang dengan gaya busana formal. Berkemeja, menggunakan rok span atau berdasi, menggunakan jas atau blazer, dan sepatu yang berbahan kulit.
Sayangnya, bukannya terlihat rapi dan professional, hari ini Anda justru terlihat seperti ‘badut’ di siang bolong. Tentu saja karena tampilan Anda yang berbeda. Mayoritas karyawan di perusahaan ini berpakaian casual. Jangankan menggunakan jas atau blazer, kemeja pun mereka ganti dengan kaos tak berkerah, walaupun masih terlihat rapi dan sopan.
Sepatu, tentu saja bukan pantofel berbahan kulit. Mayoritas mereka menggunakan sepatu kasual, sport, bahkan sepatu sandal. Sepanjang hari, begitu banyak tatapan mata yang sebenarnya tidak Anda inginkan.
Dan, bagi Anda, tentu saja hari ini menjadi hari paling melelahkan walaupun seharian Anda hanya perlu duduk diam melihat bagaimana senior Anda bekerja.
Pertanyaan yang kemudian akan saya tanyakan kepada teman-teman adalah Apakah yang akan teman-teman lakukan di hari kedua teman-teman bekerja di perusahaan tersebut untuk menghindari ‘kelelahan’ akibat menjadi ‘badut di siang bolong’?
Saya yakin, kita semua akan sepakat pada satu jawaban “Mengganti gaya busana dengan gaya busana casual seperti mayoritas karyawan di perusahaan tersebut.” Inilah yang kemudian kita sebut dengan conformity (konformitas).
Bukti Eksperimen Solomon Asch (1951)
Satu dari sekian banyak penelitian eksperimen yang berpengaruh terhadap penelitian lainnya tentang conformity adalah Eksperimennya Solomon E. Asch pada tahun 1951. Solomon Asch, yang lahir pada 14 September 1907, merupakan seorang Gestalt Psychologist yang berasal dari Polandia. Berkat hasil penelitian eksperimen psikologi yang dilakukannya dibidang konformitas, maka Solomon Asch pun, sekarang sering disebut-sebut sebagai salah satu Bapak dari Ilmu Psikologi Sosial.
Eksperimen Asch sendiri ia lakukan saat 1951 hingga tahun-tahun berikutnya merupakan sebagai obat rasa penasaran yang muncul karena pengalaman masa kecil. Yakni, pengalaman yang berkaitan dengan pintu yang selalu terbuka dan kesediaannya untuk terus mengawasi gelas berisi wine di sebuah kegiatan beribadah.
Adapun gambaran eksperimen Solomon Asch (1951) dilakukan dengan mengundang 7 orang subjek untuk masuk ke dalam satu ruangan. Tidak seperti yang kita pikirkan, hanya 1, yakni subjek nomor [6], dari 7 orang subjek tersebut yang merupakan subjek sesungguhnya dan tidak mengetahui apapun tentang percobaan ini. Lebih tepatnya, 6 yang lainnya, yakni subjek [1], [2], [3], [4], [5], dan [7], adalah rekan dari si experimenter (penguji / peneliti).
Tugas utama yang diberikan kepada para subjek untuk penelitian eksperimen ini adalah mula-mulanya semua subjek akan dikumpulkan lalu dihadapkan pada gambar berikut ini.
Setelah melihat gambar tersebut, semua subjek akan diminta untuk memilih satu dari tiga garis yang memiliki panjang yang sama dengan garis yang pertama kali ditunjukkan. Mereka diminta untuk menunjukkan jawaban mereka di muka umum sesuai gilirannya. Jadi, subjek pertama, dilanjut oleh subjek kedua, dan seterusnya.
Tugas yang sangat sederhana, kecuali jika kita tahu bahwa kelima subjek pertama dan subjek terakhir merupakan rekan dari si experimenter (peneliti), dan telah diminta untuk menjawab dengan satu jawaban yang sama, yakni jawaban yang salah.
Hasil dari eksperimen psikologi ini menunjukkan bahwa subjek keenam, sekalipun mengetahui jawaban yang benar. Ternyata mengalami kegelisahan akibat ragu pada jawabannya sendiri. Keraguan ini tentunya muncul karena 5 subjek sebelumnya menjawab dengan jawaban yang berbeda dengan jawabannya. Cukup mengejutkan, setelah melakukan eksperimen ini berkali-kali, Asch mendapati bahwa 32% subjek memutuskan untuk menyamakan jawabannya dengan mayoritas kelompok. Sekalipun tidak akan ada hadiah yang ia terima jika ia benar dan tidak akan ada hukuman jika ia salah.
Lalu Apakah Conformity Menjadi ‘Buruk’?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan memberikan sebuah ilustrasi terlebih dahulu:
Siska adalah seorang karyawan swasta yang banyak berteman dengan mereka-mereka yang tertarik pada dunia kecantikkan. Awalnya, Siska tidak terlalu tertarik pada dunia kecantikkan. Sampai pada suatu titik, ia merasa bahwa dengan mengikuti perkembangan di dunia kecantikkan, ia bisa lebih akrab dengan teman-temannya.
Melihat kondisinya tersebut, tak heran jika penghasilan bulanan Siska seringkali habis untuk membeli produk kecantikkan. Bahkan, setiap bulan Siska harus membayar tagihan kartu kredit yang tak pernah berkurang.
Tidak hanya itu, resiko lain pun harus dihadapi Siska, yaitu permasalahan pada kulit. Seringnya Siska berganti produk dalam jangka waktu singkat, membuat Siska mengalami permasalahan kulit. Siska pun terpaksa harus menyerahkan perawatan kulitnya pada dokter kulit. Tidak hanya menambah ‘kesulitan’ keuangannya, hal ini juga seringkali membuatnya merasa tidak percaya diri.
Sungguh mengherankan jika Siska tetap melanjutkan kebiasaan tersebut sekalipun ia mengalami beberapa masalah karenanya. Kecuali, kita tahu bahwa ternyata Siska juga mendapatkan kesenangan tersendiri dari hal tersebut. Kesenangan yang ia dapatkan karena ia bisa menjadi seorang ‘konselor dadakan’ bagi teman-temannya.
Sebagai seorang pemerhati dan merasa mampu menjadi ‘konselor dadakan’ di dunia kecantikkan, Siska ingat bahwa ada satu trend lagi yang belum sempat ia jalani. Yakni, trend untuk menjadi beauty vlogger dan blogger.
Siska memutuskan untuk mulai lebih rajin membaca blog kecantikkan dan menonton video kecantikkan. Ia mempelajari banyak hal mulai dari design blog, konsep blog dan vlog, konten yang diminati, cara menggunakan kamera, dan lain sebagainya. Tak dinyana, ternyata Siska justru sukses di bidang ini.
Menjadi beauty vlogger dan blogger membuat Siska seringkali mendapatkan produk secara gratis. Ia pun punya kesempatan untuk berbagi lebih banyak lagi informasi kepada para penonton dan pembacanya. Bahkan, Siska bisa mendapatkan penghasilan tambahan karena seringkali diminta untuk menulis artikel tentang dunia kecantikkan.
Apa yang Muncul di Benak Teman-Teman?
Mengacu pada kasus Siska, kira-kira apa yang muncul di benak teman-teman? Apakah conformity itu buruk? Apakah conformity itu baik? Atau, apakah conformity ibarat sebuah koin? Memiliki dua sisi yang berbeda yakni baik dan buruk?
Ketika hendak berbicara tentang manusia, ada baiknya kita membuka dulu pikiran kita agar bisa melihat suatu hal dari banyak sudut pandang. Hal ini tentu berlaku pula ketika kita berbicara mengenai conformity.
Melalui kasus Siska, kita semua tahu bahwa conformity pertama kali muncul karena Siska melihat bahwa banyak teman-temannya yang tertarik pada dunia kecantikkan. Ia yang semula tidak menyukai dunia kecantikkan pun akhirnya mengalami kegelisahan karena ia berbeda dengan teman-temannya. Seperti apa yang ditemukan Asch dalam percobaannya, hal ini kemudian membuat Siska memutuskan untuk mulai tertarik pada dunia kecantikkan.
Sebenarnya, tak ada hadiah maupun hukuman yang akan Siska terima jika ia berbeda dari teman-temannya. Namun, adanya keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih akrab dengan teman-temannya, akhirnya mendorong Siska untuk tertarik juga pada dunia kecantikkan.
Di sisi lainnya, kita juga tahu bahwa Siska memutuskan untuk mengikuti trend menjadi beauty Vlogger dan Blogger karena ia gemar berbagi informasi. Dan hal inilah yang membuat Siska terdorong untuk mencari cara agar kegemarannya ini bisa jadi lebih berguna lagi.
Dengan menjadikan para beauty vlogger dan blogger yang mendahuluinya sebagai acuan informasi tentang bagaimana ia harus menyikapi kegemarannya berbagi informasi tersebut, Siska pun memutuskan untuk memilih jalan yang sama. Dan, Siska pun sukses di jalan tersebut.
Nah, bagaimana, teman-teman? Ternyata conformity tidak selalu buruk, bukan? Sekalipun pada awalnya Siska banyak mengalami kerugian, tapi dibalik kerugian itu, ia bisa menjadi bagian dari kelompoknya. Begitu pula, dengan kesempatan lain yang ia dapatkan untuk menjadi beauty vlogger dan blogger.
Pada mulanya, Siska juga ‘terpaksa’ merubah dirinya agar ia bisa diterima di kelompoknya. Namun, nyatanya berikutnya Siska justru mendapatkan kesempatan untuk memfasilitasi dirinya yang gemar berbagi informasi.
Jika terjadi tanpa informasi yang tepat dan kontrol yang kuat, conformity bisa saja menjadi sebuah kesalahan. Tetapi, jika terjadi sebaliknya, conformity justru membawa banyak keuntungan bagi diri kita. Jadi, satu kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa conformity tidak selamanya buruk, tapi ia juga tidak selamanya baik. Semua tetap kembali kepada cara kita menyikapinya.
Mengapa Orang Melakukan Conformity / Konformitas ?
Jadi, jika kita mengikuti Deutsch & Gerrard (1955) secara umum terdapat dua alasan utamalah yang mendasari seseorang untuk melakukan conformity atau terjadinya konformitas, yaitu :
- Normative Influence, yakni adanya fear of rejection (ketakutan akan penolakan) dan keinginan yang kuat untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Setiap orang pada dasarnya memiliki ketakutan akan penolakan. Begitu pula dengan kelompok yang memiliki kecenderungan untuk ‘mengucilkan’ mereka yang berbeda.
- Informational Influence, ketika seseorang melihat dan menerima bukti dari keberadaan realita lain dari apa yang ia pahami sebelumnya. Biasanya, informational conformity muncul ketika seseorang membutuhkan informasi mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku dalam situasi tertentu.
REFERENSI:
“Conformity : A Good or A Bad Thing?”. Jamie Peutherer (2016). Owlcation (https://owlcation.com/social-sciences/Conformity-a-Good-or-a-Bad-Thing).
“Social Psychology (8th Edition)”. David Myers (2005).
“Solomon Asch”. Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Solomon_Asch).
“What is Conformity?”. Saul McLeod (2016). Simplypsychology (https://www.simplypsychology.org/conformity.html).
“Asch Experimen”. Saul McLeod (2008). Simplypsychology (https://www.simplypsychology.org/asch-conformity.html).