Image source: https://pixabay.com/en/mobile-phone-smartphone-app-1087845/
Social Media, sebuah istilah yang sudah jauh dari kata ‘asing’ bagi telinga mayoritas pengguna internet di tahun 2019. Instagram, Facebook, Twitter, Snapchat, LinkedIn, Google+, dan Tumblr. Atau, ditambah lagi dengan Friendster, LiveConnector, LiveJournal, MySpace dan Flickr pada era awal 2000-an. Saking menjamur-nya Social Media saat ini, saya yakin hampir tak ada lagi orang yang belum pernah mendengar nama-nama di atas.
Melihat fenomena ‘menjamur’-nya Social Media saat ini, tentunya pertanyaan yang pertama muncul adalah : “Mengapa sih Social Media bisa menjamur seperti itu?”. Kali ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan itu secara teoretis. Lalu, bagaimana? Yuk, mari kita urut terlebih dahulu hal-hal apa saja yang biasanya kita lakukan menggunakan Social Media (wersm.com) :
- Mengetahui kabar terbaru dari teman-teman kita.
- Menjadi up-to-date dengan berita-berita dan kejadian-kejadian terbaru.
- Mengisi waktu luang.
- Mendapatkan hiburan melalui konten-kontek lucu dan menghibur.
- Berkomunikasi dengan orang lain.
- Banyak teman yang telah menggunakan Social Media.
- Saling berbagi foto dan video dengan orang lain.
- Membagikan opini pribadi kepada orang lain.
- Mempelajari lebih lanjut barang yang akan dibeli.
- Berkenalan dengan orang baru.
Dari penjabaran di atas, kita bisa melihat bahwa betapa banyaknya hal yang bisa kita lakukan menggunakan Social Media. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan pertukaran informasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Sungguh tepat jika dictionary.cambridge.org mendefinisikan Social Media sebagai situs web atau program computer yang memungkinkan seseorang untuk melakukan pertukaran informasi dan berkomunikasi dengan orang lain melalui computer ataupun telepon genggam yang terkoneksi dengan internet.
Mengingat pentingnya koneksi internet untuk mengakses Social Media (berdasarkan definisi sebelumnya), tentunya tak akan aneh jika Social Media juga mengadopsi karakteristik utama dari internet, yakni bebas dan tanpa batasan atau borderless (wonderspsychology.com). Dimana, melalui internet, kita bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa perlu bertatap muka, khawatir akan mahalnya biaya, khawatir akan jauhnya jarak yang harus ditempuh, maupun lamanya waktu yang harus dihabiskan. Tak heran bukan jika Social Media menjadi begitu menarik untuk dicoba?
Dampak Social Media
Seperti yang kita semua rasakan, Social Media sungguh membawa dampak yang besar bagi kehidupan sosial kita. Dan, sekarang merupakan saat untuk menelaahnya sedikit lebih jauh.
Dampak yang pertama dari Social Media muncul dari kemampuannya dalam memudahkan seseorang untuk mendapatkan informasi. Dari siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Belum percaya? Coba ingat-ingat, di tahun 2019 ini, apa yang pertama kali kita lakukan jika suatu hari kita merindukan suasana tertentu? Misal. kabar rekan-rekan di tempat kerja sebelumnya. Social Media. Buka Instagram, cari akun rekan kerja kita dulu, lihat post terakhirnya, lalu mengirim komentar atau direct message langsung kepadanya.
Kondisi ini tentunya sungguh berbeda dengan kondisi saya di awal era 2000-an. Dimana, ketika merindukan teman yang berbeda kota, saya harus menghabiskan banyak uang untuk menelepon atau berhari-hari menunggu balasan surat dari mereka. Perbedaannya sungguh jauh bukan? Di kala saya harus menghabiskan banyak uang atau waktu untuk berkirim pesan, para pengguna Social Media masa kini hanya perlu membayar paket internet sebesar 100rb/bulan untuk bisa saling bertukar pesan hingga bosan.
Image source: https://pixabay.com/en/social-networking-marketing-business-2187996/
Dampak yang kedua muncul dari tidak hadirnya dua hal pada moda komunikasi melalui Social Media. Yakni, pertemuan tatap muka dan sifat real-time sebuah komunikasi. Seperti yang kita semua alami, komunikasi melalui tatap muka yang bersifat real-time alias tanpa jeda terjadi dengan begitu spontan. Dalam artian, kita tidak memiliki banyak kesempatan untuk memikirkan tentang informasi apa yang akan kita sampaikan kepada lawan bicara kita.
Contohnya, ketika kita ingin menutupi sesuatu dari lawan bicara, secara tidak sadar kita akan merasa kikuk karena kita tahu bahwa lawan bicara kita bisa melihat dan menganalisa bahasa tubuh kita. Atau mungkin, ketika kita harus berbicara dengan orang penting, kita bisa merasa sangat cemas karena kita tahu bahwa orang tersebut punya kesempatan untuk menilai kita dari tampilan fisik kita.
Melalui sedikit penjelasan di atas, terbayang tidak apa yang akan terjadi ketika kita bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa tatap muka dan tidak secara real-time? Sudah pasti kita memiliki banyak kesempatan untuk mengontrol dan mempersiapkan pesan apa saja yang ingin kita kirimkan sekaligus persepsi dari lawan bicara kita. Apalagi hal-hal yang berkaitan dengan tampilan fisik kita.
Image source: https://pixabay.com/en/working-in-office-2943747/
Wajar saja ketika komunikasi melalui Social Media pun terasa jauh lebih nyaman dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Terutama bagi mereka-mereka yang mudah merasa cemas atau jadi kikuk dalam berkomunikasi secara tatap muka. Mengapa begitu? Karena, sadar tidak sadar dan percaya tidak percaya, salah satu hal yang seringkali atau mungkin paling membuat kita cemas untuk melakukan komunikasi tatap muka dengan orang lain adalah tampilan fisik. Dan, Social Media bisa saja menjadi solusi yang tepat untuk memecahkan masalah ini.
Tampilan Fisik dan Social Media
Apa benar bahwa tampilan fisik merupakan aspek yang cukup penting di dalam berkomunikasi melalui Social Media? Balik lagi, sebagai sesama pengguna Social Media, saya (lagi-lagi) tidak akan menjawab pertanyaan ini secara teoretis. Bagaimana saya akan menjawabnya? Saya akan menjawab dengan cara mengajak teman-teman untuk mengingat peristiwa-peristiwa kecil yang pasti pernah terjadi dalam keseharian kita.
Image source: https://www.hollywoodreporter.com/news/la-kids-instagram-anxiety-social-media-is-destroying-lives-1029883
Pernah dengar tidak ada seorang teman yang berkata : “Aku mau upload di Instagram. Tolong fotoin dong. Tapi akunya jangan kelihatan gendut ya.”?
Atau mungkin, “Jangan upload foto yang ini dong. Akunya kelihatan dekil banget.”
Sedikit lebih jauh, tentu kita juga pernah bertemu dengan seseorang yang menggunakan berbagai macam filter sebelum mengirimkan atau menggunggah fotonya di Social Media. Entah untuk membuat wajahnya tampak lebih tirus, hidung lebih mancung, kulit lebih putih atau wajah tampak mulus.
Pemandangan tersebut tentunya tidak asing, bukan?
Kasus paling ekstrim yang pernah terjadi terkait hal ini adalah kasus Danny Bowman. Seorang remaja asal London yang pernah membuat heboh jagat maya dengan kebiasaan selfie-nya.
Sekilas terdengar, memang tidak ada yang salah dengan kebiasaan selfie Danny Bowman yang masih berada pada usia remaja. Kecuali, jika berikutnya kita tahu bahwa Danny Bowman menghabiskan waktu 10 jam setiap harinya untuk mengambil 200 selfie. Untuk apa Danny Bowman melakukannya? Tentu saja untuk kemudian mengunggah hasil selfie terbaiknya ke Social Media dan mencari validitas dari teman-temannya. Validitas bahwa tampilan fisiknya sudah cukup baik untuk dipresentasikan kepada dunia luar.
Danny Bowman bahkan sempat memiliki keinginan untuk bunuh diri setelah 6 bulan tidak keluar rumah akibat kebiasaan selfie-nya. Dikutip dari ditchthelabel.org yang merupakan blog pribadi Danny Bowman, ia mengaku bahwa pada titik tertentu, ia merasa dirinya tampak seperti alien pada hasil selfie-nya. Hal ini membuatnya semakin tenggelam dalam kesibukkannya mengambil selfie terbaik. Hingga akhirnya, tanpa ia sadari, ia mulai kehilangan waktunya dan memiliki keinginan mengakhiri hidupnya.
Sebenarnya, apa sih yang terjadi pada Danny Bowman? Di kala orang-orang di sekeliling kita hanya ingin tampak lebih baik di dalam foto yang akan diunggah ke Social Media, mengapa bisa ada orang seperti Danny Bowman yang begitu terobsesi dengan penampilannya di dalam sebuah foto? Bahkan, hingga berpikiran untuk mengakhiri hidupnya?
Di sinilah Body Dysmorphic Disorder membuat Danny Bowman menjadi berbeda dengan teman-teman atau bahkan diri kita sendiri di dalam ber-selfie.
Apa Itu Body Dysmorphic Disorder?
Image source: https://static1.squarespace.com/static/5a75d2f2c027d8bcb6dae62b/t/5a772a0de2c4831a61adaf10/1517758993190/static1.squarespace-2.jpg
Secara umum, Body Dysmorphic Disorder (BDD) atau yang juga dikenal sebagai Dysmorphophobia didefinisikan sebagai sebuah gangguan mental yang membuat penderitanya menaruh perhatian berlebih atau memiliki obsesi yang tak terkontrol pada kekurangan fisik tertentu (berdasarkan persepsi pribadinya). Sama halnya dengan berbagai gangguan mental lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari penderitanya, kehidupan sehari-hari penderita BDD juga seringkali terganggu karena biasanya mereka menghabiskan banyak waktu untuk berfokus pada kekurangan fisiknya tersebut. Disebutkan oleh www.ncbi.nlm.nih.gov, para penderita BDD bisa saja menghabiskan waktu selama 3 – 8 jam setiap harinya untuk berfokus pada kekurangan fisiknya di depan cermin.
Lalu, bagian tubuh mana sajakah yang sering menjadi fokus para penderita BDD? Meski tak selalu, seringkali para penderita BDD berfokus pada kekurangan yang mereka persepsikan pada rambut, kulit, ataupun hidung mereka. Hal ini juga seringkali diiringi dengan munculnya tingkah laku berulang yang bersifat impulsif dan dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki tampilan fisik. Seperti contohnya hair pulling (kebiasaan mencabut rambut pada tubuh), skin picking (kebiasaan menggaruk atau mencabut kulit yang dinilai merusak penampilan fisik), excessive grooming (berpakaian, berpenampilan, atau ber-make up secara berlebihan), memeriksa penampilan pada cermin secara berlebihan, menggigit kuku atau pipi, ataupun mencari validitas mengenai penampilan fisik.
Pada titik tertentu, demi ‘memperbaiki’ penampilan fisik mereka, para penderita BDD juga bisa saja melakukan treatment kecantikkan yang ekstrim ataupun melakukan plastic surgery (operasi kecantikkan) secara berlebihan. Tentu bagi mereka waktu dan biaya yang harus dihabiskan bukanlah hal yang penting.
Body Dysmorphic Disorder dan Social Media
Setelah membaca penjelasan di atas, akan menjadi sangat wajar ketika kita semua bertanya : “Apakah Social Media ada hubungannya dengan BDD?”. Jika bicara hubungan, maka jawabannya adalah “ya”. Tapi, jika hubungan yang dimaksud adalah hubungan sebab-akibat, maka jawabannya “belum tentu”. Mengapa? Karena, bahkan para ahli Psikologi dan praktisi kesehatan mental lain pun sampai saat ini masih belum bisa menentukan penyebab pasti dari munculnya BDD.
Berikut ini merupakan hal-hal yang telah mereka ketahui sejauh ini :
- Bahwa BDD bisa saja disebabkan oleh banyak faktor seperti abnormalitas pada otak, faktor biologis seperti keturunan (beberapa penelitian menemukan bahwa penderita BDD biasanya memiliki keluarga yang menderita Obsessive-Compulsive Disorder, pengalaman hidup, dan faktor lingkungan (pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak atau mendapatkan evaluasi negatif terkait penampilan fisik) (mayoclinic.org).
- Social Media bisa memperparah kondisi BDD yang diderita seseorang (scarymommy.com).
Pada pembahasan kali ini, tentunya kita hanya akan membahas poin yang kedua, yakni dugaan terkait adanya kemungkinan Social Media memperparah kondisi BDD yang diderita seseorang.
Lalu, bagaimanakah dugaan tersebut bisa muncul?
Image source: https://thepsychtalk.com/2018/05/20/how-to-cope-with-fomo/
Tentunya kita ingat cerita tentang Danny Bowman yang telah saya ungkapkan di atas. Dimana, sebelum mengunggah sebuah selfie ke akun Social Media-nya, ia menghabiskan hingga 10 jam per harinya untuk mengambil 200 selfie. Bayangkan jika tidak hanya Danny Bowman seorang yang melakukannya dan kemudian kaitkanlah dengan apa yang sering kita temukan akun Social Media seseorang.
Foto yang ciamik, tubuh yang kelihatan ramping, pipi yang terlihat tirus, dagu yang terlihat lebih lancip, rahang yang terlihat lebih kecil, mata yang terlihat lebih bulat, dan rambut yang terlihat begitu lurus tanpa cela. Bukankah akan menjadi wajar ketika kita menemukan seorang teman yang kemudian berkata pada kita : “Dia kok bisa cantik banget gitu ya? Sedangkan gw hanya remah-remah rempeyek?” setelah terus scrolling pada feed Instagram-nya? www.theguardian.com menyebut hal ini sebagai fenomena “standar kecantikkan yang tak masuk akal” atau impossible beauty standard.
Pengguna Social Media masa kini menghabiskan begitu banyak waktunya untuk mengikuti kehidupan sehari-hari seorang yang “sempurna”. Sayang, sedikit dari mereka yang memiliki waktu untuk menyadari bahwa apa yang mereka lihat merupakan sesuatu yang telah dialterasi sebelum diunggah. Bisa dengan cara mengambil foto berkali-kali dan memilih yang terbaik, menggunakan baju atau make up yang tak kalah ciamik, ataupun menggunakan fitur editor gambar atau filter sebelumnya. Lebih tegasnya, www.pulse.ng menggunakan istilah “palsu” untuk menyebut unggahan semacam itu.
Image source: pixabay.com/en/social-social-networks-1206610/
Kondisi Social Media yang seperti ini bisa menurunkan kepercayaan diri banyak pengguna yang tak sadar akan apa yang mereka lihat. Alasannya, karena secara tidak sadar mereka mempersepsikan hal ini sebagai sebuah standar tampilan fisik yang harus mereka penuhi. Seorang gadis dengan bentuk tubuh lebih berisi memiliki kemungkinan untuk membenci bentuk tubuhnya setelah melihat seorang public figure yang bertubuh ramping. Seorang gadis berkulit gelap juga bisa saja membenci warna kulitnya ketika melihat seorang gadis berkulit putih menerima likes atau komentar positif yang lebih banyak darinya. Atau, seorang pria yang berbadan ramping bisa saja melakukan pola olahraga ekstrim karena ingin memiliki bentuk tubuh yang “sempurna”.
Lalu, apa yang terjadi jika kepercayaan diri itu turun? Tidak mengherankan jika kemudian mereka juga melakukan pola ber-Social Media yang sama, yakni dengan melakukan berbagai hal untuk membuat diri mereka melebur ke dalam standar kecantikkan yang “berlaku” di Social Media. Termasuk di dalamnya bermain dengan berbagai editor gambar maupun filter terlebih dahulu sebelum mengunggah “tampilan diri” mereka.
Tanpa disadari, keinginan untuk melebur ini tidak memperbaiki kepercayaan diri mereka. Tetapi, justru memperburuknya karena membuat mereka mencurahkan lebih banyak perhatian pada berbagai perubahan pada standar kecantikkan dan ketidakcocokkan tampilan fisik mereka pada standar kecantikkan tersebut. Lebih parahnya lagi, (lagi-lagi) tanpa disadari, mereka juga bersumbangsih terhadap turunnya kepercayaan diri orang lain yang melihat mereka. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menjadi standar kecantikkan lainnya yang harus dipenuhi oleh orang-orang tersebut. Ibarat berada di dalam sebuah “lingkaran setan”. Kita yang menjadi korban, kita juga yang menjadi pelaku.
REFERENSI :
www.mentalhealthamerica.net/conditions/body-dysmorphic-disorder-bdd
www.mentalhealthamerica.net/conditions/body-dysmorphic-disorder-bdd-and-youth
www.scarymommy.com/body-dysmorphic-disorder-triggered-social-media-selfies/
edition.cnn.com/2018/08/10/health/snapchat-dysmorphia-cosmetic-surgery-social-media-trend-trnd/index.html
edition.cnn.com/2016/07/12/health/social-media-brain/
wersm.com/the-10-top-reasons-why-we-use-social-networks/
dictionary.cambridge.org/dictionary/english/social-media
www.wonderspsychology.com/computer-mediated-communication-tidak-ada-masalah/
www.mayoclinic.org/diseases-conditions/trichotillomania/symptoms-causes/syc-20355188
www.webmd.com/mental-health/mental-health-body-dysmorphic-disorder#1
www.webmd.com/mental-health/skin-picking-disorder#1
www.mayoclinic.org/diseases-conditions/body-dysmorphic-disorder/symptoms-causes/syc-20353938
www.theguardian.com/society/2017/aug/23/girls-and-social-media-you-are-expected-to-live-up-to-an-impossible-standard
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2716131/